Saya ingat saat masih kecil dulu, waktu ditanya cita-citamu apa nak, jawaban yang keluar kalau tidak jadi insinyur, ya jadi dokter atau pilot. Susah rasanya mendengar jawaban misal jadi karyawan, atau jadi pengusaha.
Tidak tahu kenapa. Padahal kalau dipikir-pikir, cita-cita kok jadi insinyur. Lha kalau setelah jadi insinyur terus mau ngapain? Kan ya harusnya setelah jadi insinyur terus kerja sendiri alias jadi pengusaha atau kerja di tempat orang atau bahasa kerennya jadi karyawan. Tapi kalau istilah srimulat jadi jongos.
Ya, itulah cerita kita masih kecil dulu. Kalau kita sekarang ditanya obsesinya apa. Jawaban yang keluar bisa beragam. Cuma kalau pertanyaan ini diajukan pada orang yang statusnya sebagai karyawan, jawaban yang paling mungkin keluar yakni punya usaha sendiri, atau minimal usaha sampingan.
Jalan hidup sebagai karyawan memang dibilang salah satu jalan aman untuk menyikapi kehidupan sekarang yang serba diukur dengan uang. Dengan menjadi karyawan, paling tidak dalam sebulan pendapatan anda sebulan sudah jelas jumlahnya. Begitu juga pendapatan setahun. Bahkan kalau pegawai negeri, dapat pensiun. Walaupun sebenarnya uang pensiun itu, uang kita juga yang dipotong tiap bulan dari gaji kita dan kemudian diinvestasikan ke hal yang menguntungkan. Jadi sebenarnya karyawan non PNS pun bisa membuat skema dana pensiun sendiri.
Sedangkan kalau jadi pengusaha, pendapatan yang diterima sebenarnya tidak pasti. Pada saat untung, ya Alhamdulillah. Saat rugi ya itulah dukanya jadi pengusaha. Tinggal antisipasinya bagaimana. Bisa saja, keuntungan berjualan selama satu bulan, itu bisa buat membayar sewa kios selama satu tahun. Jadi 11 bulan sisanya bisa berupa keuntungan dan untuk biaya yang lain. Seperti bulan puasa bagi para pedagang di pasar Tanah Abang.
Sedangkan kalau buat pengusaha warteg, selama bulan puasa malah ada yang libur selama satu bulan penuh. Jadi benar-benar hanya beribadah saja. Coba bayangkan, kerja selama satu tahun dan kemudian menikmatinya selama satu bulan. Mana ada karyawan yang bisa libur selama satu bulan?. Libur dua hari saja, terkadang harus mengajukannya jauh-jauh hari sebelumnya.
Faktor yang paling membedakan adalah KEBEBASAN. Bisa berupa kebebasan finansial, waktu, tekanan dari atasan. Coba anda sebagai karyawan, setiap pagi harus berangkat ke kantor, dan melawan macetnya lalu lintas, mendapat tekanan dari atasan, gaji sebulan yang jumlahnya tetap. Syukur-syukur dapat kenaikan, walaupun cuma mengejar kenaikan inflasi. Makanya saya terkadang tidak habis pikir, kalau ada orang yang sudah punya usaha kok masih mempertahankan statusnya sebagai karyawan. Uang punya, kekuasaan punya (walaupun mungkin skalanya kecil), tiap hari dimarah-marahin sama bos.
Kalau dari pengalaman yang sudah menjadi pengusaha, yang paling dibutuhkan karyawan untuk berubah jadi pengusaha adalah KEBERANIAN. Ada semacam mental blocking bagi karyawan yang mau jadi pengusaha. Takut pendapatanya turun drastic, takut rugi, tidak punya modal, dan sebagainya.
Dan untuk menjadi berani? Itulah susahnya kalau berhubungan dengan masalah mental. Tapi ada satu keadaan yang akhirnya bisa merubah seseorang. Yakni kepepet. Orang dalam situasi kepepet, mau tidak mau harus melakukan sesuatu. Kalau sudah berada jurang paling bawah, apa sih yang harus dilakukan? Mau tidak mau harus naik kan?
Apa kita mengharapkan situasi itu? Atau anda punya cara sendiri?
Tidak tahu kenapa. Padahal kalau dipikir-pikir, cita-cita kok jadi insinyur. Lha kalau setelah jadi insinyur terus mau ngapain? Kan ya harusnya setelah jadi insinyur terus kerja sendiri alias jadi pengusaha atau kerja di tempat orang atau bahasa kerennya jadi karyawan. Tapi kalau istilah srimulat jadi jongos.
Ya, itulah cerita kita masih kecil dulu. Kalau kita sekarang ditanya obsesinya apa. Jawaban yang keluar bisa beragam. Cuma kalau pertanyaan ini diajukan pada orang yang statusnya sebagai karyawan, jawaban yang paling mungkin keluar yakni punya usaha sendiri, atau minimal usaha sampingan.
Jalan hidup sebagai karyawan memang dibilang salah satu jalan aman untuk menyikapi kehidupan sekarang yang serba diukur dengan uang. Dengan menjadi karyawan, paling tidak dalam sebulan pendapatan anda sebulan sudah jelas jumlahnya. Begitu juga pendapatan setahun. Bahkan kalau pegawai negeri, dapat pensiun. Walaupun sebenarnya uang pensiun itu, uang kita juga yang dipotong tiap bulan dari gaji kita dan kemudian diinvestasikan ke hal yang menguntungkan. Jadi sebenarnya karyawan non PNS pun bisa membuat skema dana pensiun sendiri.
Sedangkan kalau jadi pengusaha, pendapatan yang diterima sebenarnya tidak pasti. Pada saat untung, ya Alhamdulillah. Saat rugi ya itulah dukanya jadi pengusaha. Tinggal antisipasinya bagaimana. Bisa saja, keuntungan berjualan selama satu bulan, itu bisa buat membayar sewa kios selama satu tahun. Jadi 11 bulan sisanya bisa berupa keuntungan dan untuk biaya yang lain. Seperti bulan puasa bagi para pedagang di pasar Tanah Abang.
Sedangkan kalau buat pengusaha warteg, selama bulan puasa malah ada yang libur selama satu bulan penuh. Jadi benar-benar hanya beribadah saja. Coba bayangkan, kerja selama satu tahun dan kemudian menikmatinya selama satu bulan. Mana ada karyawan yang bisa libur selama satu bulan?. Libur dua hari saja, terkadang harus mengajukannya jauh-jauh hari sebelumnya.
Faktor yang paling membedakan adalah KEBEBASAN. Bisa berupa kebebasan finansial, waktu, tekanan dari atasan. Coba anda sebagai karyawan, setiap pagi harus berangkat ke kantor, dan melawan macetnya lalu lintas, mendapat tekanan dari atasan, gaji sebulan yang jumlahnya tetap. Syukur-syukur dapat kenaikan, walaupun cuma mengejar kenaikan inflasi. Makanya saya terkadang tidak habis pikir, kalau ada orang yang sudah punya usaha kok masih mempertahankan statusnya sebagai karyawan. Uang punya, kekuasaan punya (walaupun mungkin skalanya kecil), tiap hari dimarah-marahin sama bos.
Kalau dari pengalaman yang sudah menjadi pengusaha, yang paling dibutuhkan karyawan untuk berubah jadi pengusaha adalah KEBERANIAN. Ada semacam mental blocking bagi karyawan yang mau jadi pengusaha. Takut pendapatanya turun drastic, takut rugi, tidak punya modal, dan sebagainya.
Dan untuk menjadi berani? Itulah susahnya kalau berhubungan dengan masalah mental. Tapi ada satu keadaan yang akhirnya bisa merubah seseorang. Yakni kepepet. Orang dalam situasi kepepet, mau tidak mau harus melakukan sesuatu. Kalau sudah berada jurang paling bawah, apa sih yang harus dilakukan? Mau tidak mau harus naik kan?
Apa kita mengharapkan situasi itu? Atau anda punya cara sendiri?
Comments