Beberapa waktu lalu, saya berkesempatan ngobrol panjang dengan salah satu pimpinan pesantren. Kami sudah lama tidak bersua dikarenakan pandemi corona yang mengharuskan kita berada di rumah. Jadi saat bertemu kami seperti menumpahkan segala macam kerinduan yang amat sangat. Banyak topik yang jadi bahan obrolan kami.
Salah satu bahan obrolan yang cukup mengagetkan saya adalah, banyak pesantren yang mengalami kekurangan guru tahfidz Quran. Seperti kita tahu, kalangan umat Islam mengalami peningkatan kesadaran beragama yang cukup signifikan dalam beberapa tahun terakhir ini.
Mereka banyak mengikuti kajian-kajian untuk menambah ilmu untuk bekal di akherat nanti. Salah satunya mereka berkeinginan menjadi penghafal Qur'an. Paling tidak anaknya ada yang menjadi Hafidz. Jika pun tidak mampu hafal 30 Juz, mampu membaca Qur'an dengan baik dan menghafal 1-2 Juz sudah cukup membahagiakan hati orang tua.
Tidak heran, program-program Tahfidz yang digelar lembaga sekolah, pesantren, atau tempat kursus khusus membaca Quran diminati masyarakat.
Disitulah timbul problem, walaupun problem ini bisa dikategorikan sebagai good problem.
Peminat meningkat otomatis dibutuhkan juga guru-guru yang berkualitas. Masalahnya adalah penyuplai dari guru Tahfidz yang berkualitas ini jumlahnya tidak sejalan dengan naiknya santri tadi. Terjadilah ketimpangan supply dan demand guru tahfidz Quran.. Lulusan pesantren khusus Tahfidz sudah habis di serap.
Solusi dari masalah tersebut, pesantren tersebut akhirnya mengadakan sendiri program khusus berjangka waktu 1-4 tahun untuk mencetak guru-guru tahfidz yang bakal mereka pakai sendiri selama masa pengabdian 1-2 tahun setelah lulus.
Setelah itu mereka bebas mau keluar atau melanjutkan mengajar disitu.
Dan selama pendidikan itu, umumnya mereka tidak dipungut biaya, bahkan mereka diberi uang saku, asrama, dan magang untuk mengajar santri-santri yang lebih junior dari mereka.
Comments