
Minggu ini benar-benar menjadi ujian bagi keluarga kami. Putra kami tercinta harus menginap di rumah sakit karena diare yang tiada berhenti. Dimulai di hari Jumat, 14 April 2006 dan mencapai puncaknya pada hari Minggu 16 April 2006. Setelah konsultasi dengan dokter anak langganan kami, akhirnya diputuskan untuk merawatnya di rumah sakit.
Berurusan dengan rumah sakit sebenarnya bukanlah hal yang pertama bagi saya. Dulu semasa kuliah, saya pernah dirawat karena hidung saya mampet tiap pagi. Selidik punya selidik, ternyata tulang hidung saya bengkok, jadi harus diluruskan. Jadi dipotonglah sedikit tulang hidung dan kemudian diluruskan supaya udara dapat berjalan dengan lancar, tidak berputar di sekitar itu saja.
Yang membedakan dulu dan sekarang adalah, dahulu saya tidak terlalu pusing dengan biaya yang dikeluarkan, tapi setelah berkeluarga justru itu yang menjadi masalah. Karena saya yang harus menanggung semuanya.
Setelah mengisi berbagai macam formulir, tibalah saatnya saya untuk memilih di kamar kelas berapa anak kami akan dirawat. Setelah kami berdua berunding, kami putuskan untuk memilih Kamar Kelas III yang berisi 6 pasien. Bukan tanpa alasan kami memilih kelas paling rendah di RS itu. Meskipun kami tahu resiko yang ditanggung. Bisa dibayangkan bagaimana keadaannya satu kamar berisi 6 pasien yang kesemuanya adalah anak-anak berusia kurang dari 1.5 tahun?
Pertimbangan biaya lah yang menjadi alasan utama bagi kami. Setelah melihat tabel tarif yang disodorkan ke kami, untuk kelas III tarif kamarnya adalah 65 ribu per hari, biaya dokter 25 ribu per hari, dan biaya lab (saya lupa jumlahnya). Uang muka untuk kelas III ini sebesar Rp. 600 ribu yang untungnya tidak harus dibayar pada saat pasien datang.
Dan untuk kelas yang lebih tinggi, tarif tersebut akan meningkat. Uang muka untuk kelas II adalah sebesar Rp. 1.1 Juta. Jadi bisa anda bayangkan jika keuangan anda pas-pas an. Pada saat anda sakit dan pergi ke rumah sakit, belum apa-apa harus mengeluarkan uang 1.1 juta.
Dan yang aneh adalah untuk tarif dokter, obat, dan biaya lab. Semakin tinggi kelas kamar, semakin tinggi pula tarif unsur-unsur tersebut. Orang sama (dokter), obat sama, alat-alat (laboratorium) yang digunakan sama. Kenapa tarifnya harus berbeda? Haruskah segmentasi ala ilmu marketing harus diterapkan untuk bidang kesehatan ini?
Dengan keadaan seperti itu, tidaklah mengherankan banyak orang menghindari untuk berhubungan dengan rumah sakit. Bahkan ada orang-orang disekitar saya yang jangankan ke rumah sakit, ke dokter pun anti. Meskipun sudah sakit parah. Salah satu alasannya adalah masalah biaya.
Jika dokter tidak memikirkan komisi yang diterima dari resep yang dibuat ..
Jika obat-obat terbebas dari ilmu marketing ..
Jika rumah sakit tidak memikirkan target keuntungan yang harus dicapai..
Jika para dokter, produsen obat, pemilik rumah sakit punya hati ...
Seandainya semua itu nyata ...
Berurusan dengan rumah sakit sebenarnya bukanlah hal yang pertama bagi saya. Dulu semasa kuliah, saya pernah dirawat karena hidung saya mampet tiap pagi. Selidik punya selidik, ternyata tulang hidung saya bengkok, jadi harus diluruskan. Jadi dipotonglah sedikit tulang hidung dan kemudian diluruskan supaya udara dapat berjalan dengan lancar, tidak berputar di sekitar itu saja.
Yang membedakan dulu dan sekarang adalah, dahulu saya tidak terlalu pusing dengan biaya yang dikeluarkan, tapi setelah berkeluarga justru itu yang menjadi masalah. Karena saya yang harus menanggung semuanya.
Setelah mengisi berbagai macam formulir, tibalah saatnya saya untuk memilih di kamar kelas berapa anak kami akan dirawat. Setelah kami berdua berunding, kami putuskan untuk memilih Kamar Kelas III yang berisi 6 pasien. Bukan tanpa alasan kami memilih kelas paling rendah di RS itu. Meskipun kami tahu resiko yang ditanggung. Bisa dibayangkan bagaimana keadaannya satu kamar berisi 6 pasien yang kesemuanya adalah anak-anak berusia kurang dari 1.5 tahun?
Pertimbangan biaya lah yang menjadi alasan utama bagi kami. Setelah melihat tabel tarif yang disodorkan ke kami, untuk kelas III tarif kamarnya adalah 65 ribu per hari, biaya dokter 25 ribu per hari, dan biaya lab (saya lupa jumlahnya). Uang muka untuk kelas III ini sebesar Rp. 600 ribu yang untungnya tidak harus dibayar pada saat pasien datang.
Dan untuk kelas yang lebih tinggi, tarif tersebut akan meningkat. Uang muka untuk kelas II adalah sebesar Rp. 1.1 Juta. Jadi bisa anda bayangkan jika keuangan anda pas-pas an. Pada saat anda sakit dan pergi ke rumah sakit, belum apa-apa harus mengeluarkan uang 1.1 juta.
Dan yang aneh adalah untuk tarif dokter, obat, dan biaya lab. Semakin tinggi kelas kamar, semakin tinggi pula tarif unsur-unsur tersebut. Orang sama (dokter), obat sama, alat-alat (laboratorium) yang digunakan sama. Kenapa tarifnya harus berbeda? Haruskah segmentasi ala ilmu marketing harus diterapkan untuk bidang kesehatan ini?
Dengan keadaan seperti itu, tidaklah mengherankan banyak orang menghindari untuk berhubungan dengan rumah sakit. Bahkan ada orang-orang disekitar saya yang jangankan ke rumah sakit, ke dokter pun anti. Meskipun sudah sakit parah. Salah satu alasannya adalah masalah biaya.
Jika dokter tidak memikirkan komisi yang diterima dari resep yang dibuat ..
Jika obat-obat terbebas dari ilmu marketing ..
Jika rumah sakit tidak memikirkan target keuntungan yang harus dicapai..
Jika para dokter, produsen obat, pemilik rumah sakit punya hati ...
Seandainya semua itu nyata ...
Comments
Amin