Cho Seung Hui, tiba-tiba menjadi buah bibir orang seluruh dunia, terutama AS. Mahasiswa Virginia Tech asal Korea Selatan itu melakukan penembakan yang berakibat tewasnya 32 mahasiwa Virginia Tech, yang salah satunya berasal dari Indonesia.
Menilik latar belakang Cho, berasal dari keluarga imigran Korea Selatan yang pindah ke Amerika pada tahun 1992 untuk meraih American Dreams. Di Korea keluarganya memiliki sebuah toko buku bekas yang hasilnya kurang bisa diharapkan. Hal inilah yang mendorong keluarga itu untuk berimigrasi ke Amerika Serikat.
Yang dikenal dari seorang Cho Seung Hui, adalah penyendiri, jarang bicara. Dan terjadinya peristiwa penembakan ini, memunculkan spekulasi penyebabnya. Berbagai macam alasan mengemuka, mulai dari masalah kejiwaan, kebebasan memiliki senjata, dan lain-lain.
Yang pasti, satu hal yang tidak muncul, yakni TERORISME. Apa jadinya ya, jika pelakunya berasala dari Indonesia, namanya berbau Islam, entah itu Umar, Abu Bakar, atau siapa kek, asal berbau Islam, satu kata yang langsung muncul bisa jadi adalah TERORISME !
Kalau sudah begitu, bisa jadi Polisi lewat Densus 88 akan langsung ngubek-ngubek keluarga yang ada di Indonesia, pekerjaannya apa, pengajian yang diikuti apa. Ikut ke Afganistan? Atau pernah jihad ke Ambon atau Poso? Dan ujungnya, lulusan Pesantren Ngruki apa nggak? Kalau nggak, pernah mendengarkan atau ketemu Ustad Abu Bakar Ba’asyir apa nggak?
Setelah itu, ya ...perang komentar atau perdebatan, antara pembela kampanye anti teroris dan komunitas Islam yang selama ini selalu menjadi tertuduh. Perdebatan itu, bisa lewat media massa yang selama ini menjadi pembela masing-masing kubu. Sudah bukan rahasia lagi, media di Indonesia masih menjadi kepanjangan tangan untuk mengamankan kepentingan pihak luar di Indonesia.
Selesai sampai disini? Sepertinya tidak, perang itu berlanjut ke dunia maya, salah satunya yakni lewat milis. Mulai dari milis yang isinya dari dulu sampai sekarang berisi perdebatan perbandingan agama, milis alumni sekolah/universitas, milis partai, hingga milis wartawan.
Atau lewat blog, muncullah postingan yang membela dan menentang. Dan ada juga yang bikin postingan berisi daftar blog yang postingannya memuat tema terseebut.
Itu efek disini, di Amerika? Bisa jadi, tambah susah sekolah, berkunjung, jalan-jalan, ke Amerika. Kalaupun bisa, ya siap-siap terkena diskriminasi dari negara yang katanya paling demokratis di dunia itu......
Menilik latar belakang Cho, berasal dari keluarga imigran Korea Selatan yang pindah ke Amerika pada tahun 1992 untuk meraih American Dreams. Di Korea keluarganya memiliki sebuah toko buku bekas yang hasilnya kurang bisa diharapkan. Hal inilah yang mendorong keluarga itu untuk berimigrasi ke Amerika Serikat.
Yang dikenal dari seorang Cho Seung Hui, adalah penyendiri, jarang bicara. Dan terjadinya peristiwa penembakan ini, memunculkan spekulasi penyebabnya. Berbagai macam alasan mengemuka, mulai dari masalah kejiwaan, kebebasan memiliki senjata, dan lain-lain.
Yang pasti, satu hal yang tidak muncul, yakni TERORISME. Apa jadinya ya, jika pelakunya berasala dari Indonesia, namanya berbau Islam, entah itu Umar, Abu Bakar, atau siapa kek, asal berbau Islam, satu kata yang langsung muncul bisa jadi adalah TERORISME !
Kalau sudah begitu, bisa jadi Polisi lewat Densus 88 akan langsung ngubek-ngubek keluarga yang ada di Indonesia, pekerjaannya apa, pengajian yang diikuti apa. Ikut ke Afganistan? Atau pernah jihad ke Ambon atau Poso? Dan ujungnya, lulusan Pesantren Ngruki apa nggak? Kalau nggak, pernah mendengarkan atau ketemu Ustad Abu Bakar Ba’asyir apa nggak?
Setelah itu, ya ...perang komentar atau perdebatan, antara pembela kampanye anti teroris dan komunitas Islam yang selama ini selalu menjadi tertuduh. Perdebatan itu, bisa lewat media massa yang selama ini menjadi pembela masing-masing kubu. Sudah bukan rahasia lagi, media di Indonesia masih menjadi kepanjangan tangan untuk mengamankan kepentingan pihak luar di Indonesia.
Selesai sampai disini? Sepertinya tidak, perang itu berlanjut ke dunia maya, salah satunya yakni lewat milis. Mulai dari milis yang isinya dari dulu sampai sekarang berisi perdebatan perbandingan agama, milis alumni sekolah/universitas, milis partai, hingga milis wartawan.
Atau lewat blog, muncullah postingan yang membela dan menentang. Dan ada juga yang bikin postingan berisi daftar blog yang postingannya memuat tema terseebut.
Itu efek disini, di Amerika? Bisa jadi, tambah susah sekolah, berkunjung, jalan-jalan, ke Amerika. Kalaupun bisa, ya siap-siap terkena diskriminasi dari negara yang katanya paling demokratis di dunia itu......
Comments
Ketika disebut-sebut kata Asia, saya agak rileks sedikit, karena biasanya di AS kalau disebut Asia hampir pastilah lebih ke arah Cina, Jepang atau Korea. Ternyata Korea dan ternyata bukan muslim, jadi tekanan itu berkurang. Eh, ternyata ada juga anak Indonesia yang ikut jadi korban, jadi prihatin juga, kandidat doktor lagi. Betapa malangnya, padahal orang tuanya sudah habis-habisan....
Yang jelas, sekarang komunitas Korea di AS yang perlu berupaya keras memperbaiki citra mereka. Selama ini mereka dikenal sebagai pekerja keras, sekarang ada citra baru yang negatif. DI LA, mengingat 1992 pernah terjadi kerusuhan antar etnis yang melibatkan orang Korea, penembakan oleh Cho terasa menyakitkan bagi komunitas mereka.
Yang pasti, kita turut berbelasungkawa atas peristiwa tragis yang semestinya tidak perlu terjadi ini.
Salam, Anwar
ckckckck
Saat diumumkan ternyata dia jadi korban, saya jadi kebayang,
seandainya saya sebagai orang tua Mora, atau orang tua Praja IPDN yang tewas mengenaskan...