Comfort Zone. Saya tidak tahu apa padanan katanya di bahasa Indonesia. Kedua kata itu sering saya dengar dan sering saya jadikan topik diskusi yang menarik dengan seorang sahabat di Bali.
Menurutnya dia sudah meninggalkan apa yang disebut Comfort Zone tadi. Ceritanya begini. Beberapa tahun yang lalu di awal perkawinannya, dia pernah bekerja part time untuk sebuah perusahaan multi nasional yang berkedudukan di Jakarta. Dia sendiri tetap berada di Bali.
Dengan bekerja paruh waktu tersebut dia mendapatkan penhasilan yang cukup lumayan. Dibilang cukup karena dia hitung berdasarkan hari kerja dibanding dengan gaji yang diterima. Kerja 10 hari tapi dibayar 26 hari kerja untuk ukuran daerah.
Sekitar 2 tahun yang lalu, secara tiba-tiba dia mengundurkan diri. Alasannya, tidak cocok dengan supervisor. Padahal waktu itu dia sedang membutuhkan biaya yang cukup besar untuk membayar kuliah S2 nya.
Tapi dengan tekad yang bulat akhirnya secara perlahan dia berhasil mengatasi berbagai kesulitan keuangan. Itulah yang dia sering katakan pada saya bahwa dia telah meninggalkan zona kenyamanan tadi.
Bagaimana tidak enak, kerja ringan gaji cukup. Waktu masih tersisa banyak.
Pertanyaanya, haruskah kita meninggalkan area yang terlanjur enak dinikmati tadi?
Menurutnya dia sudah meninggalkan apa yang disebut Comfort Zone tadi. Ceritanya begini. Beberapa tahun yang lalu di awal perkawinannya, dia pernah bekerja part time untuk sebuah perusahaan multi nasional yang berkedudukan di Jakarta. Dia sendiri tetap berada di Bali.
Dengan bekerja paruh waktu tersebut dia mendapatkan penhasilan yang cukup lumayan. Dibilang cukup karena dia hitung berdasarkan hari kerja dibanding dengan gaji yang diterima. Kerja 10 hari tapi dibayar 26 hari kerja untuk ukuran daerah.
Sekitar 2 tahun yang lalu, secara tiba-tiba dia mengundurkan diri. Alasannya, tidak cocok dengan supervisor. Padahal waktu itu dia sedang membutuhkan biaya yang cukup besar untuk membayar kuliah S2 nya.
Tapi dengan tekad yang bulat akhirnya secara perlahan dia berhasil mengatasi berbagai kesulitan keuangan. Itulah yang dia sering katakan pada saya bahwa dia telah meninggalkan zona kenyamanan tadi.
Bagaimana tidak enak, kerja ringan gaji cukup. Waktu masih tersisa banyak.
Pertanyaanya, haruskah kita meninggalkan area yang terlanjur enak dinikmati tadi?
Comments