Bermula dari maraknya perdebatan tentang RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi di sebuah milis. Seorang peserta milis yang mengirimkan tulisan Goenawan Mohamad (GM) di Koran Tempo Edisi 8 Maret 2006 di bagian Opini yang berjudul ‘RUU Porno’: Arab atau Indonesia?
Inti dari tulisan GM tersebut adalah menolak pemberlakuan RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) karena RUU tersebut lebih banyak membawa kebudayaan Arab ke Indonesia yang terkenal karena keragamannya. Dan hal tersebut jelas akan mempengaruhi seni budaya yang selama ini ada,.
Dari tulisan tersebut memang GM menganggap bahwa RUU APP itu hanya menampung kepentingan satu golongan tertentu, dan itu adalah Islam. Dimana Islam sendiri memang turun pertama kali di Arab, maka dia berkesimpulan bahwa pemakaian jilbab seperti yang diwajibkan Islam itu adalah budaya Arab. Bukan aturan yang harus dijalankan.
Diskusi tsb akhirnya berkembang, dan moderator dari milis Jurnalisme yakni Farid Gaban (FG), mingrimkan email pribadi ke GM sehubungan dengan opini GM di Koran Tempo tsb. Sebenarnya sih FG tidak setuju juga dengan RUU APP tapi dengan alasan yang jauh lebih sederhana dibandingkan alasan yang dikemukakan GM.
Menariknya adalah, di email FG ke GM tersebut, adalah sisipan pertanyaan yang akhirnya menjadi bahan diskusi yang cukup hangat yakni tentang status kepemilikan saham Jawa Pos Group oleh GM. Dan semua tahu bahwa bahwa Koran Lampu Merah (Lamer) merupakan cucu dari Jawa Pos Group. Lamer sendiri berada di bawah payung Rakyat Merdeka dan Rakyat Merdeka bagian dari Jawa Pos Group.
Petikan email FG ke GM tsb :
Mas Goen bisa sesekali datang ke kios-kios koran dan majalah, dan mungkin akan terkejut betapa liberalnya media kita, suatu hal yang mungkin jarang bisa kita temukan di negeri-negeri Eropa atau Amerika.Saya bisa menunjuk satu dua contoh yang ekstrem, yang kebetulan saya baca sendiri di Harian "Lampu Merah" atau "Non-Stop"—keduanya diterbitkan oleh Grup Jawa Pos (yang Mas Goen sendiri menjadi salah satu pemegang sahamnya).Dalam sebuah edisi, Lampu Merah memajang foto orang bersenggama dengan posisi woman on top di halaman muka. Di edisi lain, Non Stop memuat kiat-kiat berhubungan seks lengkap dengan gambar posisi seks.
Coba anda bayangkan, seorang GM yang cukup lama berkecimpung di dunia jurnalistik ternyata ikut andil dalam penerbitan Lampu Merah. Boleh orang bicara, bahwa di posisi GM, dia tidak akan ikut campur atau bertanggung jawah secara penuh mengenai penerbitan Lampu Merah.
Setelah timbul berbagai macam pertanyaan menyangkut hal terserbut akhirnya GM pun angkat bicara, yakni ..
Anda benar sekali -- tak hanya Playboy yang mencemaskan, tapi juga Lampu Merah. Bahkan yang terakhir ini bisa lebih vulgar.Sejak UU Pokok Pers berubah menjadi tak memerlukan perizinan, di bawah pemerintahan Habibi dan Menteri Yunus Yosfiah, kecemasan saya ialah bila yang terjadi seperti di Eropa Timur: Playboy, Hustler...Sebab ini akan mendorong kaum konservatif untuk mengibarkan kampanye anti atau mereduksi kemerdekaan.
Tulisan anda tak saya kaitkan dengan niat mendeskreditkan sikap saya menentang RUU Porno itu, meskipun tentu ada orang yang akan menganggap sikap saya menjadi tidak sah, tidak "murni" lagi.Sikap semacam itu jelas mengalihkan argumen: masuk ke dalam motif pribadi, yang tak akan putus-putusnya dicari dan tetap bisa diperdebatkan -- sama seperti kalau kita bertanya, apa motif seseorang mendukung PKS atau menentang argumen PKI..
Yang ingin saya katakan ialah bahwa seperti jika saya tak menyetujui Lampu Merah dan Playboy, saya tetap enganggap berbahaya jika sikap itu membuka peluang bagi sensor..
Juga senadainya saya yang jadi sensor.
Salam,Goenawan .
Jadi buat GM yang penting tidak disensor dari pada Lampu Merah padam !
Inti dari tulisan GM tersebut adalah menolak pemberlakuan RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) karena RUU tersebut lebih banyak membawa kebudayaan Arab ke Indonesia yang terkenal karena keragamannya. Dan hal tersebut jelas akan mempengaruhi seni budaya yang selama ini ada,.
Dari tulisan tersebut memang GM menganggap bahwa RUU APP itu hanya menampung kepentingan satu golongan tertentu, dan itu adalah Islam. Dimana Islam sendiri memang turun pertama kali di Arab, maka dia berkesimpulan bahwa pemakaian jilbab seperti yang diwajibkan Islam itu adalah budaya Arab. Bukan aturan yang harus dijalankan.
Diskusi tsb akhirnya berkembang, dan moderator dari milis Jurnalisme yakni Farid Gaban (FG), mingrimkan email pribadi ke GM sehubungan dengan opini GM di Koran Tempo tsb. Sebenarnya sih FG tidak setuju juga dengan RUU APP tapi dengan alasan yang jauh lebih sederhana dibandingkan alasan yang dikemukakan GM.
Menariknya adalah, di email FG ke GM tersebut, adalah sisipan pertanyaan yang akhirnya menjadi bahan diskusi yang cukup hangat yakni tentang status kepemilikan saham Jawa Pos Group oleh GM. Dan semua tahu bahwa bahwa Koran Lampu Merah (Lamer) merupakan cucu dari Jawa Pos Group. Lamer sendiri berada di bawah payung Rakyat Merdeka dan Rakyat Merdeka bagian dari Jawa Pos Group.
Petikan email FG ke GM tsb :
Mas Goen bisa sesekali datang ke kios-kios koran dan majalah, dan mungkin akan terkejut betapa liberalnya media kita, suatu hal yang mungkin jarang bisa kita temukan di negeri-negeri Eropa atau Amerika.Saya bisa menunjuk satu dua contoh yang ekstrem, yang kebetulan saya baca sendiri di Harian "Lampu Merah" atau "Non-Stop"—keduanya diterbitkan oleh Grup Jawa Pos (yang Mas Goen sendiri menjadi salah satu pemegang sahamnya).Dalam sebuah edisi, Lampu Merah memajang foto orang bersenggama dengan posisi woman on top di halaman muka. Di edisi lain, Non Stop memuat kiat-kiat berhubungan seks lengkap dengan gambar posisi seks.
Coba anda bayangkan, seorang GM yang cukup lama berkecimpung di dunia jurnalistik ternyata ikut andil dalam penerbitan Lampu Merah. Boleh orang bicara, bahwa di posisi GM, dia tidak akan ikut campur atau bertanggung jawah secara penuh mengenai penerbitan Lampu Merah.
Setelah timbul berbagai macam pertanyaan menyangkut hal terserbut akhirnya GM pun angkat bicara, yakni ..
Anda benar sekali -- tak hanya Playboy yang mencemaskan, tapi juga Lampu Merah. Bahkan yang terakhir ini bisa lebih vulgar.Sejak UU Pokok Pers berubah menjadi tak memerlukan perizinan, di bawah pemerintahan Habibi dan Menteri Yunus Yosfiah, kecemasan saya ialah bila yang terjadi seperti di Eropa Timur: Playboy, Hustler...Sebab ini akan mendorong kaum konservatif untuk mengibarkan kampanye anti atau mereduksi kemerdekaan.
Tulisan anda tak saya kaitkan dengan niat mendeskreditkan sikap saya menentang RUU Porno itu, meskipun tentu ada orang yang akan menganggap sikap saya menjadi tidak sah, tidak "murni" lagi.Sikap semacam itu jelas mengalihkan argumen: masuk ke dalam motif pribadi, yang tak akan putus-putusnya dicari dan tetap bisa diperdebatkan -- sama seperti kalau kita bertanya, apa motif seseorang mendukung PKS atau menentang argumen PKI..
Yang ingin saya katakan ialah bahwa seperti jika saya tak menyetujui Lampu Merah dan Playboy, saya tetap enganggap berbahaya jika sikap itu membuka peluang bagi sensor..
Juga senadainya saya yang jadi sensor.
Salam,Goenawan .
Jadi buat GM yang penting tidak disensor dari pada Lampu Merah padam !
Comments