Sebuah tulisan menarik dari Farid Gaban di akhir tahun 2007 [saya ambil dari milis Jurnalisme], yang temanya sangat relevan dengan situasi saat ini, terlebih dengan rencana kenaikan secara berkala harga elpiji mulai September 2008 ini.
[Harga elpiji naik? Akhir tahun lalu saya tentang kemungkinan munculnya problem ini. Perubahan pemakaian minyak tanah ke elpiji adalah jalan melingkar pencabutan subsidi bahan bakar.-FG]
Konversi Energi dan Kebohongan Jusuf Kalla
Oleh Farid Gaban | 7 September 2007
Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan program konversi energi dari
minyak tanah ke gas elpiji akan terus dijalankan dan diharapkan tuntas
pada 2011.
Menurut Kalla, program itu menguntungkan baik bagi pemerintah maupun
masyarakat. Keuntungan lain: gas elpiji lebih bersih dan ramah
lingkungan dibanding minyak tanah.
Bagi pemerintah, program itu akan mengurangi besarnya subsidi minyak
tanah yang kini mencapai sekitar Rp 60 triliun per tahun.
Bagi masyarakat, menurut Kalla, pemakaian elpiji akan menghemat
penggunaan energi rumah tangga sekitar Rp 25.000 per bulan per keluarga.
Perhitungan Kalla seperti ini:
MINYAK TANAH
Konsumsi rata-rata per bulan/keluarga: 30 liter atau Rp 75.000 (asumsi
harga Rp 2.500/liter).
ELPIJI
Konsumsi rata-rata per bulan/keluarga: 12 kg atau Rp 51.000 (asumsi
harga Rp 4.250/kg).
Walhasil, ada penghematan sebesar Rp 24.000 per bulan/keluarga.
Program ini sepintas lalu bagus dan mulia. Namun, dipandang dari sudut
pandang masyarakat, khususnya masyarakat miskin yang selama ini masih
menggunakan minyak tanah, program ini menyulitkan. Dan kemungkinan
besar lebih mahal.
Masyarakat harus membeli kompor gas baru yang harganya minimal sekitar
Rp 54.000 per buah. Belum lagi tabung gas. Kompor gas hasil tender
Pertamina ini memang jauh lebih murah dibanding harga kompor gas yang
ada di pasar (Rp 200-300 ribu), namun kualitasnya bisa dipastikan jauh
lebih rendah. Dengan kualitas rendah, kompor harus sering diperbaiki.
Orang harus mengeluarkan Rp 15.000 sekali servis.
Kesulitan lain: jika dulu orang miskin bisa membeli minyak tanah
secara eceran, sekitar Rp 2.500 per liter, kini harus membeli satuan
terkecil gas elpiji Rp 15.000 per tabung ukuran 3 kg.
Pemerintah memang juga menjanjikan kompor gas gratis kepada masyarakat
miskin. Namun seperti banyak program subsidi langsung lainnya, program
ini kedodoran di tingkat pelaksanaan. Seorang ibu rumah tangga di
Kelurahan Harjamukti, Depok, mengatakan kepada saya dia harus
menyediakan uang Rp 40-50.000 untuk mendapatkan kompor gratis itu,
hampir sama dengan harga pasar.
Taruhlah kesulitan di masa transisi konversi energi ini bisa
diabaikan. Toh masyarakat sudah terbiasa dengan kesulitan.
(Bukankah dalam jangka panjang, jika matematika Jusuf Kalla benar,
uang Rp 50.000 untuk membeli kompor tetap tak berarti bila dibanding
penghematan Rp 25.000 per bulan?)
Masalahnya adalah: akuratkah matematika Jusuf Kalla?
Jusuf Kalla membuat asumsi yang menyesatkan ketika menyebut harga gas
elpiji hanya Rp 4.250 per kg. Faktanya, harga elpiji akan segera
merangsek naik pula.
Pertamina sendiri kini sudah mengusulkan kenaikan harga elpiji, dan
pemerintah akan menyetujuinya akhir tahun ini, menjadi sekitar Rp
7.000 per kg. Diperparah oleh rendahnya kualitas distribusi, harga ini
bisa jauh lebih mahal di daerah pedalaman Sumatera atau Kalimantan.
Harga Rp 7.000 per kg ini berlaku untuk industri maupun rumah tangga
yang memiliki tabung ukuran 12 kg. Pemerintah memang masih akan
memberi subsidi untuk orang miskin (tetap Rp 4.250 per kg), meski
hampir bisa dipastikan tetap kedodoran di tingkat pelaksanaan.
Jika subsidi untuk orang miskin tidak berjalan semestinya dan orang
dekat-kemiskinan (near poor) akhirnya harus membeli gas elpiji Rp
7.000 per kg, jelaslah gugur semua argumen Jusuf Kalla bahwa konversi
energi ini menguntungkan masyarakat.
Konsumsi gas elpiji per bulan keluarga akan mencapai Rp 84.000, lebih
mahal dari pengeluaran mereka untuk minyak tanah sebelum konversi.
Belum lagi mereka harus mengeluarkan biaya tambahan untuk kompor,
tabung dan biaya servis.
Yang tersisa hanya satu: program ini hanya akan menguntungkan
pemerintah yang telah berhasil sepenuhnya menghapuskan sumbsidi energi
bagi masyarakat.
Jika subsidi dihapus, kenaikan harga gas elpiji tak terelakkan. Gas
elpiji diproses dari minyak (petrol-based), sementara Indonesia hanya
bisa memproduksi sekitar 2 juta ton per tahun, kebutuhan gas elpiji
dalam negeri pada 2010 mencapai 5-6 juta ton. Sekitar 3-4 juta ton per
tahun harus diimpor dari luar negeri, antara lain dari Jepang.
KESIMPULAN
Program konversi energi ini hanya merupakan upaya pemerintah untuk
menghapus seluruh subsidi energi, dengan cara yang melingkar.
Kebijakan ini masih selaras dengan seluruh kebijakan ekonomi
neo-liberal yang dicanangkan Pemerintahan SBY-JK sejak awalnya: hapus
subsidi, privatisasi (seluruh aspek hidup dari energi hingga air
minum), liberalisasi dagang dan investasi.
Apa hasilnya buat masyarakat?
[Harga elpiji naik? Akhir tahun lalu saya tentang kemungkinan munculnya problem ini. Perubahan pemakaian minyak tanah ke elpiji adalah jalan melingkar pencabutan subsidi bahan bakar.-FG]
Konversi Energi dan Kebohongan Jusuf Kalla
Oleh Farid Gaban | 7 September 2007
Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan program konversi energi dari
minyak tanah ke gas elpiji akan terus dijalankan dan diharapkan tuntas
pada 2011.
Menurut Kalla, program itu menguntungkan baik bagi pemerintah maupun
masyarakat. Keuntungan lain: gas elpiji lebih bersih dan ramah
lingkungan dibanding minyak tanah.
Bagi pemerintah, program itu akan mengurangi besarnya subsidi minyak
tanah yang kini mencapai sekitar Rp 60 triliun per tahun.
Bagi masyarakat, menurut Kalla, pemakaian elpiji akan menghemat
penggunaan energi rumah tangga sekitar Rp 25.000 per bulan per keluarga.
Perhitungan Kalla seperti ini:
MINYAK TANAH
Konsumsi rata-rata per bulan/keluarga: 30 liter atau Rp 75.000 (asumsi
harga Rp 2.500/liter).
ELPIJI
Konsumsi rata-rata per bulan/keluarga: 12 kg atau Rp 51.000 (asumsi
harga Rp 4.250/kg).
Walhasil, ada penghematan sebesar Rp 24.000 per bulan/keluarga.
Program ini sepintas lalu bagus dan mulia. Namun, dipandang dari sudut
pandang masyarakat, khususnya masyarakat miskin yang selama ini masih
menggunakan minyak tanah, program ini menyulitkan. Dan kemungkinan
besar lebih mahal.
Masyarakat harus membeli kompor gas baru yang harganya minimal sekitar
Rp 54.000 per buah. Belum lagi tabung gas. Kompor gas hasil tender
Pertamina ini memang jauh lebih murah dibanding harga kompor gas yang
ada di pasar (Rp 200-300 ribu), namun kualitasnya bisa dipastikan jauh
lebih rendah. Dengan kualitas rendah, kompor harus sering diperbaiki.
Orang harus mengeluarkan Rp 15.000 sekali servis.
Kesulitan lain: jika dulu orang miskin bisa membeli minyak tanah
secara eceran, sekitar Rp 2.500 per liter, kini harus membeli satuan
terkecil gas elpiji Rp 15.000 per tabung ukuran 3 kg.
Pemerintah memang juga menjanjikan kompor gas gratis kepada masyarakat
miskin. Namun seperti banyak program subsidi langsung lainnya, program
ini kedodoran di tingkat pelaksanaan. Seorang ibu rumah tangga di
Kelurahan Harjamukti, Depok, mengatakan kepada saya dia harus
menyediakan uang Rp 40-50.000 untuk mendapatkan kompor gratis itu,
hampir sama dengan harga pasar.
Taruhlah kesulitan di masa transisi konversi energi ini bisa
diabaikan. Toh masyarakat sudah terbiasa dengan kesulitan.
(Bukankah dalam jangka panjang, jika matematika Jusuf Kalla benar,
uang Rp 50.000 untuk membeli kompor tetap tak berarti bila dibanding
penghematan Rp 25.000 per bulan?)
Masalahnya adalah: akuratkah matematika Jusuf Kalla?
Jusuf Kalla membuat asumsi yang menyesatkan ketika menyebut harga gas
elpiji hanya Rp 4.250 per kg. Faktanya, harga elpiji akan segera
merangsek naik pula.
Pertamina sendiri kini sudah mengusulkan kenaikan harga elpiji, dan
pemerintah akan menyetujuinya akhir tahun ini, menjadi sekitar Rp
7.000 per kg. Diperparah oleh rendahnya kualitas distribusi, harga ini
bisa jauh lebih mahal di daerah pedalaman Sumatera atau Kalimantan.
Harga Rp 7.000 per kg ini berlaku untuk industri maupun rumah tangga
yang memiliki tabung ukuran 12 kg. Pemerintah memang masih akan
memberi subsidi untuk orang miskin (tetap Rp 4.250 per kg), meski
hampir bisa dipastikan tetap kedodoran di tingkat pelaksanaan.
Jika subsidi untuk orang miskin tidak berjalan semestinya dan orang
dekat-kemiskinan (near poor) akhirnya harus membeli gas elpiji Rp
7.000 per kg, jelaslah gugur semua argumen Jusuf Kalla bahwa konversi
energi ini menguntungkan masyarakat.
Konsumsi gas elpiji per bulan keluarga akan mencapai Rp 84.000, lebih
mahal dari pengeluaran mereka untuk minyak tanah sebelum konversi.
Belum lagi mereka harus mengeluarkan biaya tambahan untuk kompor,
tabung dan biaya servis.
Yang tersisa hanya satu: program ini hanya akan menguntungkan
pemerintah yang telah berhasil sepenuhnya menghapuskan sumbsidi energi
bagi masyarakat.
Jika subsidi dihapus, kenaikan harga gas elpiji tak terelakkan. Gas
elpiji diproses dari minyak (petrol-based), sementara Indonesia hanya
bisa memproduksi sekitar 2 juta ton per tahun, kebutuhan gas elpiji
dalam negeri pada 2010 mencapai 5-6 juta ton. Sekitar 3-4 juta ton per
tahun harus diimpor dari luar negeri, antara lain dari Jepang.
KESIMPULAN
Program konversi energi ini hanya merupakan upaya pemerintah untuk
menghapus seluruh subsidi energi, dengan cara yang melingkar.
Kebijakan ini masih selaras dengan seluruh kebijakan ekonomi
neo-liberal yang dicanangkan Pemerintahan SBY-JK sejak awalnya: hapus
subsidi, privatisasi (seluruh aspek hidup dari energi hingga air
minum), liberalisasi dagang dan investasi.
Apa hasilnya buat masyarakat?
Comments
Tetapi .... masalah nya adalah jika harga tabung gas 3kg ikut beranjak naik hingga level 18rb ke atas dan langka pula, seperti berita ini : http://www.beritajakarta.com/v_ind/berita_detail.asp?idwil=0&nNewsId=30173 itu bisa menyulitkan masyarakat. Yg penting harga tabung 3kg jgn sampai naik untuk saat ini dan stock jgn langka.
Masalah gas yg tidak dapat di beli eceran (uang 3.000 bisa beli minyak tnh), itu memang minus nya program konversi ini, pemerintah harus melihat dan memikirkan hal ini.
Semoga ibadah puasa kita tetap khusyu di tengah harga-harga yg melambung. Selamat menunaikan Ibadah puasa.
Padahal belum setahun saya pake gas. Pertama kali pake cuma 40 ribu. Berarti belum setahun sudah naik 100%?
Mmmmm padahal gaji saya kenaikannya nggak sampai segitu ....