Skip to main content

Sejarah Kompas yang Hilang

Sulit rasanya saat ini mendapatkan media yang independent, dan tidak menjadi corong bagi satu pihak baik itu partai politik atau golongan agama tertentu. Ada media yang terang-terangan memang menjadi media untuk golongan agama tertentu. Mungkin bisa saya sebut disini adalah Majalah Sabili, yang secara gamblang menunjukkan keberpihakannya kepada kepentingan umat Islam.

Tetapi ada juga media yang sebenarnya adalah corong dari kelompok tertentu di masyarakat tetapi tidak menunjukkannya secara gamblang kepada khalayak ramai. Hal tersebut bisa karena sebagai sebuah strategi agar apa yang disampaikan dapat diterima masyarakat. Sebab bisa saja masyarakat apriori terlebih dahulu jika sudah mengetahui bahwa media itu menjadi corong golongan tertentu.

Kompas sebagai salah satu media yang menjadi tolok ukur media di Indonesia, ternyata cukup hati-hati dalam menempatkan diri di benak orang. Di booklet yang disebarluaskan pada saat Pameran Industri Pers Indonesia 2005 yang berlangsung di Assembly Hall – Jakarta Convention Center 3-5 Juni 2005, tercantum bahwa Kompas lahir pada 28 Juni 1965 yang digawangi oleh Jakob Oetama dan Auwjong Peng Koen (P.K. Ojong). Keduanya merupakan pendiri majalah Intisari dimana Jakob Oetama sebagai Pemimpin Redaksi.

Di booklet disebutkan bahwa Jenderal Achmad Yani sebagai Menteri/Panglima Angkatan Darat minta Frans Seda menerbitkan koran yang independen, kredibel dan seimbang. Frans Seda kemudian bicara dengan beberapa rekannya seperti: Kasimo, P.K. Ojong dan Jakob Oetama mengenai kemungkinan diterbitkannya koran tersebut.

Dan kita tahu semua bahwa koran tersebut akhirnya lahir dan diberi nama Bentara Budaya. Tetapi Presiden Soekarno mengusulkan untuk mengubah menjadi KOMPAS, artinya Penunjuk Arah.

Sampai disini sepintas terkesan tidak ada yang istimewa. Tetapi jika kita baca tulisan dari Coen Husain Pontoh yang berjudul Amanat Hati Nurani Karyawan di Majalah Pantau edisi April 2001, ternyata ada sejarah yang hilang. Atau dihilangkan?

Sejarah yang tak nampak itu adalah ternyata Presiden Soekarno meminta pendirian tersebut ke Partai Katolik. Dan tokoh-tokoh Katolik yang turut serta mengadakan pertemuan untuk mewujudkan keinginan tersebut adalah P.K. Ojong, Jakob Oetama, R.G. Doeriat, Frans Xaverius Seda, Policarpus Swantoro, R. Soekarsono bersama beberapa wakil elemen hierarkis dari Majelis Agung Wali Gereja Indonesia (MAWI): Partai Katolik, Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Pemuda Katolik dan Wanita Katolik. Mereka sepakat mendirikan Yayasan Bentara Rakyat.

Pendirian Kompas sendiri tidak berlangsung mulus, sempat muncul halangan saat pengajuan izin ke Panglima Militer Jakarta Letnan Kolonel Dachja, yakni bahwa izin akan keluar jika syarat 5000 tanda tangan pelanggan terpenuhi.

“Bagaimana ini, koran belum terbit kok sudah disyaratkan 5.000 pelanggan. Itu kan berarti meminta sesuatu yang tidak mungkin, toh?“ gerutu Seda. Apakah mereka mundur?

Tidak, kaki terlanjur dilangkahkan, niat sudah dipancangkan. Menghadapi birokrasi yang menghambat, tokoh-tokoh Katolik ini lari Pulau Flores, yang mayoritas penduduknya beragama Katolik. Di Flores, mereka mengumpulkan tanda tangan anggota partai, guru sekolah, dan anggota anggota koperasi kopra di Kabupaten Ende Lio, Kabupaten Sikka, dan Kabupaten Flores Timur.

“Kami berhasil mengumpulkan 5.000 tanda tangan dan kita kirim ke Jakarta menggunakan karung. Kaget mereka dan tidak bisa lagi menolak,“ kenang Seda, dengan mata berbinar-binar.

Jadi kalau kita cermati di dua sumber tulisan ini, jelas ternyata hal-hal yang berbau Katolik di awal pendirian Kompas dihilangkan di booklet yang diterbitkan Kompas pada Pameran Industri Pers 2005. Entah ada maksud apa dengan penghilangan unsur sejarah yang cukup penting tersebut.

Mungkinkah Kompas tidak ingin masyarakat luas mengetahui sejarah yang sebenarnya bahwa Kompas didirikan untuk menyuarakan kepentingan pemeluk Katolik? Kompas jelas tidak menginginkan lepasnya pasar mereka yang sudah sedemikian besar. Dan juga dengan tidak diketahuinya latar belakang Kompas yang sebenarnya, diharapkan masyarakat dapat menangkap kepentingan-kepentingan kaum Katolik yang diutarakan sedemikan halusnya.

Hal ini dapat dilihat dari pergantian Pemimpin Redaksi Kompas dari Jakob Oetama ke Suryopratomo yang beragama Islam. Dengan wajah Islam di pimpinan puncak, diharapkan masyarakat dapat menerima pesan-pesan yang disampaikan.

Dan sebagai konsumen media, sudah seharusnya kita bersikap kritis dan mempunyai filter terhadap hal-hal tersebut. Karena jika kita tidak kritis, lambat laun otak kita akan tercuci dan mengikuti arus pemikiran mereka.

Semoga bermanfaat?

Comments

Anonymous said…
Assalamu'alaikum
Jazakallah atas informasi sejarah KOMPASnya,sangat membantu unt referensi tugas KIK.
Anonymous said…
Good blog! Ada info web blog best seller di: http://hatinurani21.wordpress.com/ . Artikel2 dalam web blog ini menjawab secara kritis, analitis, rasional, dalam, dan tuntas tentang berbagai permasalahan bangsa saat ini. Termasuk kelicikan, kelihaian, keindahan dan kehebatan begawan politik Soeharto dalam menipu bangsanya berkali-kali (tidak hanya sekali). Membaca artikelnya, menyadarkan kita: ternyata bangsa ini terus menerus digombali regim Soeharto. Selamat mengunjungi, membaca dan berkomentar. Dijamin puas. Salam.
Anonymous said…
Kapan kalian dewasa,kenapa selalu yg bagus kalian cerca dengan SARA.Dewasalah bangsa ini tidak akan pernah maju kalau generasinya seperti kalian.
Anonymous said…
Gw Muslim, tapi gw gak percaya tuh sabili belain Islam beneran. ini bisnis bos. itung aja, kalo tuh majalah bisa terus ngompor2in orang Islam kayak kalian, berarti kan ada pembelinya. coba dia nulis yang moderat, kalian kan gak mo beli. jadi semua bisnis, cari duit. secara jumlah orang kayak kalian dan jumlah penggemar [playboy sama, so bersainglah playboy dan sabili mencari market. tul gak??
Anonymous said…
tul tuh. bisnis kan ngeliat pasar. jumlah peminat berita kompor sama berita sampahnya play boy sama. jadi keduanya laku. juga pembaca kompas yang kalian anggap pro kafir dan tidak intelek, eh salah islami..
Anonymous said…
"Kenapa yang bagus kalian cerca dengan SARA" apa sih maksudnya "bagus" disini? maaf cuma saya gak begitu paham, mungkin bisa diberikan penjelasan,& mungkin "cerca" kata yang subyektif, & saya pikir sah2 aja kalo kita mau mengeluarkan apa yang menurut kita benar...lagian kalo kita cuma melihat segala sesuatu dari sudut pandang yang sama, aitu "Kompas yang bagus", kapan kita melihat sudut pandang orang lain, biar lebih bijak maksudnya...ntar kalo cuma liat 1 sudut pandang apa bedanya dengan orang yang keras kepala & tidak terima pendapat orang lain? Maaf kalo ada kata yang menyakitkan..ini juga cuma pandangan saya...
Anonymous said…
walaupun ulasan di atas sudah uzur, sy tergelitik untuk menanggapinya. Suatu pemikiran yang tidak cerdas, bila mengaitkan segala sesuatunya dengan agama. Suatu media yang penting kan nilai sustansinya, bukan pendirinya.. kenapa kalau memang yang mendirikan orang2 katolik, pernah merasa dirugikan setelah membaca atau menikmati koran kompas. Adakah unsur propaganda yang nampak walaupun secara halus.. grow up boss!!
Anonymous said…
ckckck...
saya baru tahu ada blog ini saat saya sedang mencari tugas mengenai kompas,,,
dan ternyata saya membuang-buang waktu dan tenaga saya untuk membaca blog ini. Zaman apa sekarang kalau kita selalu mengaitkan AGAMA kedalam segala hal???
anda, dengan segala bahasa yang cukup menarik menurut saya,,tapi berbicara mengenai sesuatu yang menurut saya SAMPAH.
mungkin inilah yang dibilang degradasi bangsa...
malu dong,,kemana-mana selalu omongin SARA.
but,still,,keep up d good work yaa,,(itupun klo anda mau maju,,)
@taufand said…
Kenapa harus menjauhkan AGAMA dalam segala hal, kalau dalam AGAMA ternyata menjawab persoalan SEGALA HAL?
Unknown said…
Bukan menjauhkan Agama lebih tepatnya tapi menjauhkan "oknum" yang terlalu fanatik pada Agama tertentu baik itu budha, islam, kristen/katolik ataupun hindu. Bukannya semua agama tersebut mengajarkan kerukunan, damai dan kebaikan? Perbedaan itu sudah ada sejak awal dibuatnya dunia ini dalam segala hal. Dari waktu ke waktu harusnya kita lebih dapat berpikiran positif dalam memanage perbedaan yang ada, bukan dengan fanatik terhadap pandangan pribadi dan menyalahkan pandangan orang lain. Damai itu indah, urusan dunia akhirat itu bukan urusan kita tp menjadi Urusan di Atas, Rahasia Ilahi :)
Anonymous said…
hmmmp...saya rasa apa yang kalian bicarakan dan kalian ulas ini sama sekali
"ga penting"..
hanya itu yang bisa saya sampaikan setelah mereview blog ini..

Popular posts from this blog

Masalah Parkir di Supermal Karawaci

Jika anda akan parkir, khususnya sepeda motor, di areal Supermal Karawaci saya sarankan untuk lebih teliti. Mengapa? Saya mengalamai hal ini sudah dua kali. Jadi kira-kira begini, pada saat kita mau keluar dari area parkir, kita diharuskan menunjukkan STNK dan menyerahkah karcis parkir kepada petugas. Prosedur standarnya adalah petugas itu akan memasukkan No Pol Kendaraan ke Mesin (semacam cash register), dan disitu akan tertera berapa jumlah yang harus kita bayar. Nah, prosedur inilah yang saya lihat tidak dilaksanakan oleh petugas parkir di Supermal Karawaci . Saat saya menyerahkan karcis parkir, dan dia melihat Jam saya mulai parkir, dia langsung menyebutkan sejumlah tertentu (tanpa memasukkannya ke mesin),yakni Rp. 3.000. Saya curiga, segera saya minta untuk dimasukkan datanya dulu ke mesin. Dan setelah dimasukkan. Apa yang terjadi? Jumlah yang harus saya bayar cuma Rp. 2.500. Dan ini saya alamai DUA KALI!. Dan seorang tetangga pun pernah mengalami hal yang sama. Coba bayangkan ji

Larangan Sepeda Motor Lewat Jalan Protokol; Mempersulit Hidup Orang Pas-Pas an

Kata orang kalau kita berada di tengah, cenderungnya aman. Nggak terlalu ekstrem, entah di ke atas atau ke bawah. Tapi, hal itu tidak berlaku buat orang yang pas-pasan hidup di Jakarta. Orang-orang kelas menengah bawah di Jakarta, tahun-tahun terakhir ini semakin menyadari bahwa naik sepeda motor adalah jawaban yang pas atas kemacetan yang terjadi tak kenal waktu di Jakarta. Nggak perduli orang tinggal di tengah Jakarta atau pinggiran Jakarta, mulai beralih ke sepeda motor sebagai alat transportasi utama. Ngirit baik waktu maupun biaya. Eh, ternyata kegembiraan ini tidak menyenangkan buat seorang yang Keras Kepala. Dia akan melarang sepeda motor melewati jalan Sudirman dan Thamrin. Dengan alasan membikin macet dan semrawut. Saya nggak tahu, dia itu mbodhoni atau memang benar-benar bodho. Satu sepeda motor dengan satu atau dua orang penumpang, hanya akan memakan jalan sekitar 1.5 meter an. Nah, sekarang bandingkan dengan satu orang yang naik mobil, sudah makan berapa meter tuh???? Jika

Karawaci Loop, Track Gowes Adem di Tangerang

Salah satu tempat recommended buat bersepeda di daerah Tangerang adalah KARAWACI LOOP. Ada yang menyebutnya LIPPO LOOP, karena lokasinya memang di Komplek Perumahan Lippo Karawaci Tangerang. Tapi ada yang menyebutnya LOLLIPOP, bahkan ada Komunitas Goweser di kawasan itu menggunakan istilah ini. Entah kenapa penyebutannya mirip nama permen. Mungkin biar terkesan unik, dan enak diucapkan. KARAWACI LOOP sendiri sebenarnya jalan Komplek Perumahan Lippo Karawaci, jalan menuju kesana dari arah pintu tol menuju Mall Karawaci, sebelum sampai di Mall, ada bundaran di depan Menara Matahari dan Benton Junction. Nah dari bundaran tersebut jika mau ke mall arahnya ke kanan, kalau ke KARAWACI LOOP dari bundaran lurus saja. Bisa dilihat di gambar peta dibawah ini. Kenapa tempat ini recommended untuk goweser?  SATU, karena jalan boulevard komplek, otomatis sepi tidak seramai jalanan umum. Ada dua jalur setiap jalannya. Jadi ada 4 jalur di kedua arahnya. Bahkan sebenarnya ada jalur khusus pesepeda yang